Mimpi
Aku pernah, mimpi orang yang
sama tiga kali berturut-turut. Aneh kan? Apa? Aku mimpi orang itu karena
aku suka? Jatuh cinta? Kangen? Ada-ada saja. Aku bahkan tidak ingat pernah
kenal orang itu. Kalian pasti penasaran, ‘Bagaimana kamu bisa tahu itu orang
yang sama jika aku tidak kenal?’ Percayalah walau aku tidak ingat pernah
kenal tapi wajahnya tampak tidak asing. Siapa ya kira-kira? Teman lama?
Orang yang tidak sengaja lewat? Temannya temanku mungkin?
“Selamat pagi, anak-anak!
Silahkan duduk di tempat kalian!” Wali kelas kami, Bu Karlina masuk ke kelas.
Menghentikan kegiatan menulisku.
“Anak-anak hari ini kita ada
kedatangan teman baru dari luar provinsi. Kalian baik-baik ya sama dia. Jangan
dijahili apa lagi di-bully.” Ucap Bu Karlina.
‘Anak baru? Untuk apa peduli?
Mending lanjut nulis.’ Batinku
“Silahkan masuk nak Jovan!
Perkenalkan diri kamu ke teman-temanmu!” Perintah Bu Karlina ke anak baru itu.
Ketika anak baru itu masuk,
seketika kelas menjadi ricuh.
‘Wah ganteng bangeet!’
‘Ya Tuhan, penghuni surga-Mu
ada yang kabur iniiii! Cakep banget Ya Tuhan!’
Pujian demi pujian dilontarkan
anak perempuan ketika melihat wajahnya untuk pertama kali. Ya begitulah. ‘Surga
dunia’ katanya. Berbeda dengan anak laki-laki yang merasa kedudukan mereka
sedikit terancam karena parasnya yang ‘katanya’ ganteng itu.
‘Waduh, saingan berat ini!’
‘Pegangin cewek kalian guys!
Jangan sampai oleng!’
Aku? Aku masih berkutik dengan
cerpenku. Peduli? Tentu tidak. Penasaran? Sudah pasti. Rasa penasaran itulah
yang membuatku menoleh sekilas ke depan dan ber-oh singkat setelah melihatnya.
Eh, sebentar. Aku kembali menoleh ke arah anak baru itu.
‘Di.... Dia... Mirip banget.
Dia mirip banget sama cowok di mimpiku.’ Betapa terkejutnya aku ketika
menyadarinya.
‘Jadi, mimpi itu beneran
pertanda ya? Tapi pertanda apa?’ batinku bertanya-tanya.
Jujur saja, saat ini aku
bingung sekali dengan apa yang terjadi padaku. Setelah mimpi-mimpi itu. Lalu
dengan kemunculan lelaki yang ada di mimpiku. Aku benar-benar bingung. Ah,
kalian pasti lebih bingung. ‘Memang mimpinya tentang apa si?’ Jadi mimpi pertamaku,
aku kecelakaan dan masuk rumah sakit. Aku ditemani oleh lelaki itu sampai aku
menghembuskan nafas terakhirku saat bersamanya di rumah sakit. Menakutkan?
Tentu saja. Mimpi kedua, aku menjadi temannya. Tapi, karena suatu keadaan aku
harus pergi jauh. Aku ingin berpamitan dengan lelaki itu. Dia acuh saja tidak
peduli. Mimpi ketiga, ini agak menggelikan dan terkesan mengada-ada. Tapi, aku
berani mengatakan kalau aku mungkin berpacaran dengannya di mimpi itu.
Dengan munculnya dia di
depanku sekarang, hanya satu isi kepalaku. ‘Apakah mimpi-mimpi itu adalah tiga
kemungkinan akhir dari kisah kami berdua nanti? Lalu mimpi yang mana yang
benar-benar bunga tidur dan mana yang pertanda?’
“Perkenalkan! Nama gue Jovan. Jovan
Bagas Dirgantara. Salam kenal!” ucapnya memperkenalkan diri.
“Hahaha.... Dirgantara....
Anak pesawat ini.” Canda salah seorang siswa laki-laki, diikuti tertawaan
beberapa siswa laki-laki lainnya , yang ditimpali dengan tatapan sinis siswa
perempuan.
“Sudah, sudah, jangan begitu. Jovan,
silahkan duduk di tempat yang kosong.” Ucap Bu Karlina meredakan kericuhan
kelas. Setelah mendapat izin, Jovan berjalan mencari tempat duduk kosong.
‘Eh kamu pindah gih, biar Jovan
duduk di sebelahku’
‘Enak aja, kamu aja si yang
pindah’
Kelas kembali ricuh oleh siswa
perempuan yang berebut ingin duduk dengan Jovan. Jovan terus berjalan mencari
tempat kosong, sampailah dia di bangku sebelahku, yang memang kosong sejak awal
semester. Aku yang masih berkutik dengan pikiranku tidak menyadari dia sudah
berdiri di bangku sebelahku.
“Bangku ini kosong kan? Boleh
gue duduk di sini?” Tanya Jovan.
“Hah?” ucapku kaget.
‘Kapan-kapan dia berdiri di situ?’ Batinku.
“Bangkunya kosong kan? Gue
boleh duduk di sini?” Ulangnya sedikit diperlambat.
“Oh, boleh. Silahkan!” Jawabku
mempersilahkan.
“Makasih! Btw... Gue Jovan. Jovan
Baga...” Ucapnya. Tapi kupotong.
“Iya tahu. Tadi udah
perkenalan kan di depan.” Potongku.
“Haha... Iya juga. Nama lo
siapa?” Tanya Jovan.
“Dara.” Jawabku singkat.
Bukannya sok kalem, tapi suasananya terasa canggung sekali bagiku. Bayangkan
saja laki-laki yang muncul di mimpimu sekarang ada di depan mata. Itu akan
sangat canggung. Ditambah tatapan anak perempuan lain yang seakan ingin membunuhku
hanya karena Jovan duduk di sebelahku.
“Nama lengkap?” Tanya Jovan
lagi.
“Harus banget nama lengkap?”
Jawabku.
“Yups, harus. Siapa tau butuh
nanti. Buat akad nikah misalnya.” Timpalnya.
“Cih, baru kenal dah gombal.”
Ucapku pelan.
“Jadi? Gak mau kasih tau nama
lengkap lo? Ya sudah.” Ucap Jovan lalu menghadapkan badan ke depan.
“Baiklah, kita lanjutkan
pelajaran hari ini ya...” ucap Bu Karlina memulai pelajaran. Sekarang aku
yakin, kehidupan sekolahku setelah ini, akan sangat berbeda dengan sebelumnya.
Satu semester sejak masuknya Jovan
ke sekolah kami sudah lewat. Hari ini adalah hari terakhir ujian semester kami.
Menyenangkan? Jangan harap. Jovan memang memiliki wajah yang bisa dibilang
sempurna. Tapi percayalah, kelakuannya seratus delapan puluh derajat dibanding
wajahnya. Bagaimana tidak. Hampir setiap hari dia menjahiliku. Menggangguku
menulis. Melempariku dengan bola-bola kertas kecil yang dibuatnya. Aku tahu dia
bercanda. Hanya saja di saat-saat tertentu itu sangat menyebalkan. Tapi hal-hal
seperti itulah yang membuat kami pelan-pelan menjadi semakin dekat dan semakin
dekat.
“Gimana ujianmu?” Tanya Jovan.
“Begitulah.” Jawabku singkat.
“Kenapa juga aku tanya itu ke
kamu. Seorang Aldara. Langganan peringkat satu. Tentu saja ujian akan sangat
mudah dia kerjakan, olimpiade saja dimenangkan dengan mudahnya... Hahaha.” Ucap
Jovan.
“Kau ini... Jangan terlalu
dibesar-besarin. Nanti dibilang sombong lagi.” Ucapku memperingatkannya.
“Sombong apanya? Mereka aja
yang iri sama kamu.” Ucapnya.
“Udah, udah... Nanti ada yang
denger gimana?” Timpalku.
“Biarin aja. Gak ada yang
berani ganggu Aldara selama Jovan ada di sebelah Aldara... Hahaha.” Ucapnya
sedikit bercanda.
“Hahaha... Ya udah. Pulang
yuk!” Ucapku mengajaknya pulang. Berdua? Iya. Sudah sekitar dua bulan kami
selalu pulang bersama. Sudah kukatakan bukan kalau kami semakin dekat? Tanpa
banyak bicara lagi, kami berdua langsung berjalan menuju tempat parkir di depan
sekolah. Sampai di tempat parkir, Jovan langsung memakai dan memakaikanku helm
dan kami pun berangkat. Di tengah jalan aku menyadari kalau Jovan tidak
membawaku ke rumahku.
“Kita mau kemana, Van?”
Tanyaku.
“Jalan-jalan bentar yak!
Refreshing abis ujian.” Jawabnya sedikit teriak karena jika tidak akan terbawa
suara angin. Aku hanya ber-oh pelan, tanpa tahu kemana aku akan dibawa olehnya.
Sampailah kami berdua di suatu
taman yang sangat indah dan masih asri. ‘Taman Kota Mellysta’ Batinku membaca
tulisan di gerbang taman itu.
“Ngapain kita ke sini?”
Tanyaku.
“Udah dibilangin refreshing.
Ayok ikut!” Ajak Jovan sambil menarik tanganku.
Aku hanya bisa menurut dan
mengikutinya ke mana pun dia membawaku pergi. Sampai di sebuah ayunan, dia
menyuruhku duduk.
“Duduk di sini bentar. Kamu
mau eskrim?” Tanyanya. Aku hanya mengangguk kecil. Jovan langsung pergi
meninggalkanku di ayunan itu.
Tak lama berselang Jovan
kembali dengan satu buah eskrim coklat dan satu buah eskrim vanilla.
“Nih, eskrim-mu. Coklat, kan?”
Ucapnya sambil menyodorkan eskrim coklat di tangannya. Aku sekali lagi hanya
mengangguk dan mengambil eskrim dari tangannya.
“Kamu tumben banget ngajakin
aku jalan-jalan. Kamu gak sakit kan? Atau pindah sekolah lagi? Atau
jangan-jangan kamu mau sekolah di luar negeri ya makanya kamu baikin aku gini
terus tiba-tiba pamit gitu?” Tanyaku panik mengeluarkan semua dugaan di kepalaku.
“Hei... Hei... Tenang Dara!
Aku gak akan kemana-mana kok.” Jawabnya menenangkan.
“Terus kenapa tiba-tiba
ngajakin aku jalan-jalan?” Tanyaku lagi.
“Eumm... Kayanya sekarang
waktu yang tepat buat ngomongin ini.” Ucapnya pelan, aku tidak bisa
mendengarnya dengan baik.
“HAH? Apaan si pelan banget
ngomongnya.” Timpalku.
“Gini.... Aku mau nanya
sesuatu dulu buat mastiin.” Ucapnya. Aku hanya terdiam bingung, tidak mengerti
apa yang dia maksud.
“Kamu sering tulis cerpen
gitu, kan? Buat dicetak di MellystaNews?” Tanya Jovan.
“Kok kamu bisa tau? Padahal
aku berusaha banget biar orang gak tau kalo aku tulis cerpen buat koran itu.”
Jawabku sedikit kaget.
“Beneran? Jadi kamu beneran
BabyNara penulis cerpen di MellystaNews?” Tanyanya lagi. Aku kembali hanya
mengangguk.
“Wow... Aku fans berat
BabyNara... Aku suka banget cerpen-cerpen kamu! Aku gak percaya selama ini aku
sekelas sama BabyNara.” Lanjutnya senang. Sangking senangnya dia tidak sadar
kalau eskrimnya sudah jatuh ke tanah.
“Wah... Aku seneng banget hari
ini!” Ucapnya lagi sambil memegang tanganku, yang membuatku bingung dan suasana
menjadi canggung karena Jovan langsung melepas tanganku setelah menyadari apa
yang dilakukannya.
“Eehh... Dara?” panggilnya.
“Apa?” Jawabku.
“Ada lagi yang mau aku bilang
ke kamu, tapi nggak di sini. Ayok ikut aku!” Ucapnya langsung menarik tanganku.
‘Apalagi ini, Ya Tuhan’ Batinku heran. Jovan membawaku ke sebuah air mancur
berlampu di tengah taman. Hari yang sudah mulai gelap membuat lampu itu
bersinar bersama semburat oranye matahari tenggelam.
“Aldara. Udah sekitar lima
bulan kita kenal. Dan udah dua bulan kita deket. Ditambah kamu yang ternyata
adalah penulis cerpen favoritku. Aku udah membulatkan tekat buat bilang ini.”
Ucap Jovan, memegang kedua tanganku. Aku hanya bisa terdiam. Detak jantungku
sekarang sangat kencang dan tidak stabil. Aku punya firasat kuat apa yang akan
terjadi berikutnya.
“Aldara Putri Priscanara.
Selama kita deket, dua bulan ini, pas kamu bahagia aku ikut bahagia. Pas kamu
sedih aku nenangin kamu, selalu ada di samping kamu. Tanpa sadar tumbuh
perasaan suka. Aku suka sama kamu Ra. Aku, Jovan Bagas Dirgantara, suka sama
kamu, Aldara Putri Priscanara.” Ucapnya. Aku tidak bisa berkata-kata. Tubuhku
terasa membatu mendengar semua pengakuan yang diucapkan Jovan.
Jovan benar. Tanpa sadar kami
semakin dekat dua bulan ini. Tanpa sadar terus-menerus merasa nyaman satu sama
lain. Tanpa sadar tumbuh rasa saling suka satu sama lain.
“Aku.... Aku juga suka...”
Ucapku pelan.
“Kenapa, Ra?” Tanya Jovan.
“Aku... juga suka Jovan.”
Ulangku lagi. Kali ini sedikit lebih keras, dia harusnya mendengarku sekarang.
“Apa? Keras-keras dong gak
kedengeran.” Ucapnya lagi.
“DARA JUGA SUKA SAMA JOVAN.”
Teriakku. Orang-orang di sekitar kami menoleh, terdiam sebentar. Lalu bertepuk
tangan dan bersorak, ikut senang. Jovan tersenyum lebar dan memelukku. Aku
membalas pelukannya. Dengan ini kami resmi berpacaran.
Jovan, lelaki yang muncul di mimpiku, sekarang menjadi pacarku. Seperti yang ditunjukkan salah satu mimpiku. Setelah itu, kami kembali ke kehidupan biasanya. Setelah ujian semester, pengambilan raport, liburan, sekolah lagi, ujian lagi, lulus, kuliah, dan wisuda. Hanya saja mungkin diselingi kencan setiap seminggu sekali. Kalian tahu? Jovan melamarku ketika wisuda kuliah kami. Di depan banyaknya hadirin yang datang di tempat wisuda, Jovan berlutut di depanku dan menyodorkan kotak berisi cincin berlian kepadaku. Malu? Tentu saja malu. Siapa yang tidak malu dilamar di depan orang banyak seperti itu. Senang? Sudah pasti. Lima tahun kami berpacaran sejak SMA, akhirnya dia melamarku dan menikah setahun kemudian. Sekarang kami punya dua anak. Hidup sebagai keluarga kecil yang bahagia, di tengah kota Mellysta. Happily. Ever. After.
Komentar
Posting Komentar