The Terror(s) : Awal Teror
Pikiranku berpacu. "Apakah aku
benar-benar melihat ini?" tanyaku pada diri sendiri, mencoba meyakinkan
diri bahwa ini hanyalah mimpi buruk. Tetapi suara erangan yang tertahan dan
darah yang mengalir di trotoar membuktikan sebaliknya. Tubuhku membeku, terpaku
pada tempatku berdiri, seolah-olah gravitasi menahan setiap langkahku.
"Apa yang harus aku lakukan?"
pikirku panik, tatapanku tidak bisa lepas dari pemandangan mengerikan itu.
Jantungku berdetak kencang, bergemuruh di telingaku. Aku tahu aku harus
melakukan sesuatu. Dengan tangan gemetar, aku merogoh saku untuk mengambil
ponsel. Setiap detik terasa seperti selamanya.
"Sial! Mana ponselnya?" gumamku
dengan frustrasi, berusaha menenangkan diri. Aku menemukannya dan dengan cepat
menghubungi nomor darurat. Butuh waktu sebelum terdengar seseorang berbicara di
telepon.
“119. Ada yang bisa dibantu?”
"Ada seorang pria... dengan pisau...
di depan toko roti... dia sedang menikam seseorang..." Suaraku terdengar
serak dan gemetar saat aku melaporkan kejadian itu.
“Baik. Saya mohon Anda tenang sebentar,
dan beri tahu saya detailnya oke?” Ucap operator di
seberang telepon menenangkan.
“Ya... ya...,” jawabku, berusaha
mengontrol getaran dalam suaraku. “Dia tinggi, memakai jaket hitam dengan
tudung, dan—oh Tuhan, darahnya...”
Operator terus berbicara, menanyakan
detail lebih lanjut, tetapi otakku sulit untuk fokus. Pandanganku tetap terpaku
pada sosok itu, yang sekarang tampaknya menyadari kehadiranku. Dia berdiri,
melepaskan korban yang terbaring di tanah, dan menatap langsung ke arahku. Aku
merasa seperti rusa yang terjebak dalam sorotan lampu mobil, tidak mampu
bergerak atau berpikir.
"Dia melihatku," bisikku
ketakutan. "Dia melihatku!"
Operator itu dengan cepat mencoba
menenangkanku, "Tetap di tempat yang aman. Polisi sedang dalam
perjalanan. Jangan bergerak."
Aku mundur perlahan, meninggalkan jendela
dan merapat ke dinding, mencoba menyembunyikan diriku dari pandangannya. Namun,
aku bisa merasakan tatapannya yang menusuk. Setiap detik berlalu dengan lambat,
ketegangan menggantung di udara.
Tiba-tiba, suara sirene polisi terdengar
dari kejauhan, mendekat dengan cepat. Aku merasa sedikit lega, tetapi rasa takut masih menyelimutiku. Bagaimana jika dia berhasil kabur sebelum polisi datang?
Bagaimana jika dia mengejarku?
Aku mendengar pintu depan apartemen
diketuk keras, diiringi suara polisi yang memanggil, "Polisi! Buka
pintu!"
Dengan tangan gemetar, aku berlari menuju
pintu dan membukanya. Dua polisi berdiri di sana, wajah mereka serius dan
waspada.
"Di sana! Di depan toko roti!"
aku menunjuk ke arah jendela. Polisi segera berlari menuju lokasi yang aku
tunjuk, sementara salah satu dari mereka tinggal bersamaku, menanyakan detail
lebih lanjut dan memastikan keselamatanku.
Beberapa menit kemudian, aku melihat polisi
yang menyisir area tersebut dari jendela. Mereka menemukan korban yang
tergeletak tak berdaya di trotoar, tetapi pembunuhnya telah menghilang tanpa
jejak. Aku merasa ngeri melihat mayat itu, darah yang menggenang di sekitarnya.
Polisi kembali ke apartemenku, wajah
mereka tegang. "Kami tidak menemukan pelakunya. Dia sudah kabur,"
kata salah satu dari mereka.
Kengerian menyelimuti diriku. Aku tahu
pembunuh itu telah melihatku, dan sekarang dia tahu aku melihat perbuatannya.
Malam itu, meskipun dengan penjagaan polisi, aku merasa tidak aman.
Keesokan harinya,
teror dimulai. Pesan ancaman muncul di ponselku, suara berat dan menakutkan, "Kamu
pikir bisa sembunyi dariku?"
Image Source : Pinterest
Komentar
Posting Komentar