The Terror(s) : Rentetan Teror

Aku hampir tidak bisa bernapas saat mendengar suara itu, yang menggema dalam kepalaku. Tanganku bergetar saat aku menatap layar ponselku, pesan singkat dengan nomor yang tidak dikenal. Aku segera menghubungi polisi.

"Polisi, ada yang bisa kami bantu?" Suara terdengar dari telepon.

"Aku... aku mendapatkan pesan ancaman. Sepertinya ini dari pembunuh itu. Aku takut!” Jawabku.

"Tolong jangan panik. Kami akan segera mengirimkan petugas ke lokasi. Apakah ada hal lain yang terjadi atau hal mencurigakan yang bisa kamu laporkan?"

“Tidak... Belum ada.”

"Kami akan memastikan bahwa semua akses ke apartemenmu dipantau dengan ketat. Sementara itu, coba jaga diri dan jangan ragu untuk menghubungi kami jika sesuatu yang mencurigakan terjadi. Kami juga akan memeriksa area di sekitar apartemen untuk mencari petunjuk."

“Baiklah... Terima kasih.” Aku mematikan telepon.

Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan ketegangan. Setiap bunyi kecil di apartemen membuatku terjaga, dan aku merasa seperti ada mata yang terus-menerus mengawasi. Meskipun aku memasang kunci tambahan di pintu dan jendela, rasa aman itu terasa semakin hilang.

Pernah suatu malam, saat aku sedang berbaring di tempat tidur dengan lampu menyala terang, aku mendengar suara ketukan lembut di pintu depan. Hatiku berdegup kencang.

“Siapa?” Ucapku memastikan. Tidak ada jawaban.

Aku mencoba untuk tenang dan mengecek melalui lubang pintu, namun tidak ada yang terlihat. Suara ketukan berhenti, tetapi ketidakpastian masih menggantung di udara.

Aku membuka pintu sedikit untuk memeriksa, dan hanya menemukan sebuah kotak di luar, tanpa catatan atau tanda. Dengan tangan gemetar, aku membawanya ke dalam dan membuka kotak itu. Di dalamnya, aku menemukan sebuah boneka tua yang mengenakan pakaian hitam, mirip dengan yang dikenakan oleh pembunuh itu. Boneka itu memegang sebuah kartu dengan tulisan, "Kau semakin dekat."

Ketakutan kembali menyelimutiku. Boneka itu seakan memperingatkan aku bahwa dia selalu ada di dekatku, dan kehadirannya terus mengganggu ketenanganku. Aku tahu aku harus mencari bantuan, tetapi ketakutan membuatku tidak tahu harus berbuat apa.

Polisi meningkatkan pengawasan di sekeliling apartemen, tetapi tidak ada petunjuk yang mengarah pada identitas pelaku. Polisi pun kembali mengurangi pengawasan, menganggap situasi sudah cukup aman. Tapi itu tidak berlaku padaku. Setiap hari aku masih menerima pesan baru, dengan ancaman yang semakin menakutkan. "Kamu tidak bisa melarikan diri dariku,", "Aku selalu ada di dekatmu.", atau "Jangan berpikir kamu bisa sembunyi di balik kunci atau pengawasan polisi. Mereka hanya mainan. Aku adalah ancaman nyata yang akan membuatmu menderita." Dan masih banyak lagi.

Seminggu setelah kejadian, ketika hujan deras turun di malam hari, lampu apartemenku tiba-tiba mati. Aku terjebak dalam kegelapan, mendengar suara gemercik air hujan yang deras di luar. Ketika aku mencoba menghubungi polisi, aku mendapati jaringan telepon juga mati. ‘Sial! Kenapa harus sekarang?’ Pikirku. Ketidakberdayaan itu membuatku merasa semakin terjebak dan sendirian.

Sementara aku duduk di ruang tamu, berusaha menenangkan diri, aku mendengar suara pintu belakang yang terbuka perlahan. Jantungku hampir berhenti berdetak saat aku melirik ke arah pintu, berharap bahwa itu hanya hasil imajinasi burukku. Namun, suara langkah kaki berat mendekat, dan ketegangan memuncak.

Aku memutuskan untuk bersembunyi di dalam lemari pakaian, mencoba bernafas secara perlahan. Kegelapan dan keheningan di sekelilingku seakan menjadi saksi bisu ketakutan yang aku rasakan. Suara langkah kaki semakin mendekat, hingga akhirnya berhenti tepat di depan lemari. Dengan napas tertahan, aku mengintip melalui celah lemari, melihat bayangan gelap yang bergerak.

Dalam kegelapan itu, sebuah suara dingin berbisik, "Kamu tidak bisa terus bersembunyi dariku."

Aku menahan napas, mataku terpaku pada bayangan itu. Detik-detik terasa seperti selamanya. Setelah beberapa saat, bayangan itu perlahan menghilang, dan aku mendengar suara berat itu menjauh. Aku tetap diam, terperangkap dalam ketakutan, menunggu sampai aku yakin bahwa ancaman itu benar-benar telah pergi.

Tiba-tiba, lampu apartemen kembali menyala, menerangi ruangan yang sebelumnya gelap gulita. Aku mengintip sekali lagi melalui celah lemari, memastikan bahwa bayangan itu benar-benar telah menghilang. Dengan ragu, aku membuka pintu lemari dan keluar, tubuhku masih gemetar ketakutan.

Setiap langkah terasa berat, dan jantungku masih berdebar kencang. Aku melangkah pelan ke ruang tamu, memastikan bahwa tidak ada tanda-tanda kehadiran sosok misterius itu. Meskipun ruangan sekarang terang benderang, perasaan cemas dan takut tetap menghantuiku. Aku memeriksa setiap sudut apartemen, mencoba meyakinkan diri bahwa aku benar-benar sendirian.

Namun, bayangan ketakutan itu masih melekat kuat di benakku, dan aku tahu bahwa meskipun sosok itu telah pergi, teror belum berakhir. Aku harus menemukan cara untuk mengakhiri mimpi buruk ini, atau aku akan terus hidup dalam ketakutan tanpa akhir.

Komentar

Postingan Populer