The Terror(s) : Tangkap
Setelah
kejadian malam itu, aku merasa seperti seekor tikus yang terjebak dalam
perangkap tanpa jalan keluar. Setiap suara, setiap bayangan, membuatku gelisah
dan ketakutan. Aku sadar bahwa jika aku terus membiarkan ketakutan ini
menguasai diriku, aku tidak akan pernah bisa hidup dengan tenang. Aku harus
melawan. Akan kugunakan terornya sebagai senjataku melawan balik.
Aku
membuat apartemenku terlihat seolah-olah aku tidak siap untuk menghadapi
ancamannya, dengan sengaja membiarkan beberapa jendela terbuka sedikit, memberi
kesan bahwa aku ceroboh dan tidak waspada. Aku tidak menambah pengamanan yang
terlihat jelas, seperti memasang lebih banyak kunci atau gembok tambahan.
Sebaliknya, aku memfokuskan usahaku pada hal-hal yang tersembunyi—perangkap
yang tidak akan dia sadari hingga terlambat.
Selama
beberapa hari, aku mengumpulkan peralatan yang aku butuhkan. Aku membeli
beberapa kamera pengintai kecil yang bisa disembunyikan di sudut-sudut
apartemen, terutama di area yang sering dia masuki, dapur dan ruang tamu.
Kamera ini tidak hanya akan merekam setiap gerakannya, tetapi juga memberiku
peringatan dini jika dia benar-benar masuk ke dalam. Aku memastikan bahwa
kamera-kamera itu terhubung sehingga aku bisa mengontrol semuanya dari jarak
jauh.
Aku
menciptakan ilusi bahwa aku masih dalam keadaan tertekan dan ketakutan. Aku
sengaja membiarkan pesan ancamannya tidak terbalas, tetapi aku juga tidak
melaporkannya lagi kepada polisi. Aku ingin dia berpikir bahwa aku telah
menyerah, bahwa aku hanya menunggu di dalam apartemen dengan ketakutan,
berharap ancamannya akan segera berakhir. Padahal, kenyataannya adalah aku
sedang menyiapkan jebakan untuknya.
Aku
juga memanfaatkan waktu untuk mempelajari beberapa teknik dasar pertahanan diri
dan cara menggunakan beberapa alat yang mungkin berguna jika terjadi
konfrontasi langsung. Aku membeli beberapa benda yang bisa digunakan sebagai
senjata darurat, seperti semprotan merica dan tongkat kecil yang bisa
disembunyikan di dekat tempat tidur atau di ruang tamu. Aku juga menyimpan
pisau kecil di dalam lemari pakaian, tempat aku biasanya bersembunyi.
Aku
sengaja menjadwalkan beberapa kegiatan di luar apartemen pada malam-malam
tertentu, seperti mengunjungi teman atau pergi ke toko, tetapi aku selalu
pulang lebih awal dari waktu yang direncanakan. Aku berharap dia akan mulai
mengamati kebiasaanku dan berpikir bahwa dia bisa memanfaatkan momen ketika aku
pulang.
Malam
yang aku pilih untuk menjebaknya adalah malam dengan cuaca buruk, mirip dengan
malam saat pertama kali dia mendekatiku. Aku sengaja mematikan lampu apartemen
dan menunggu dalam kegelapan, memastikan bahwa pintu belakang sedikit terbuka
untuk menarik perhatiannya. Di dalam apartemen, aku sudah menyiapkan segala
sesuatu—kamera yang siap merekam, perangkap sederhana seperti benang yang
diikat dengan lonceng kecil, dan ember air yang tergantung di atas pintu dapur.
Aku
tahu rencanaku berisiko, tetapi aku juga tahu bahwa aku tidak bisa terus hidup
dalam ketakutan. Aku harus membuktikan kepada diriku sendiri bahwa aku bisa
melawan, bahwa aku tidak akan membiarkan teror ini menghancurkanku. Saat hujan
mulai turun dengan deras di luar, aku memastikan bahwa ponselku terhubung ke
charger di ruang tamu, seolah-olah aku terburu-buru meninggalkannya di sana.
Aku menyiapkan semua peralatan yang kubutuhkan di tempat yang mudah dijangkau,
termasuk kamera tersembunyi yang menghadap pintu belakang, tempat di mana dia
terakhir kali muncul. Aku juga menyiapkan beberapa perangkap sederhana di
sekeliling apartemen, seperti benang tipis yang diikat ke lonceng kecil di
beberapa titik strategisaku .
Saat
semuanya siap, aku bersembunyi di lemari pakaian, seperti yang aku lakukan
sebelumnya. Tapi kali ini, aku tidak hanya menunggu dengan ketakutan. Aku
memegang remote kecil yang terhubung ke kamera dan perangkat lainnya.
Aku siap untuk mengaktifkan rencanaku. Jantungku berdetak kencang, tetapi aku
tetap tenang. Aku tahu bahwa malam ini akan menjadi malam di mana semua ini
berakhir, satu cara atau lainnya.
Hujan
terus mengguyur dengan deras menciptakan suara yang menyamarkan setiap gerakan
kecil. Aku menunggu dalam keheningan, setiap detik berlalu dengan perlahan.
Akhirnya, aku mendengar suara yang kutunggu-tunggu, pintu belakang yang terbuka
perlahan, diikuti oleh suara langkah kaki yang berat.
Dengan
jantung berdebar, aku tetap tenang dan menunggu langkah kaki itu mendekat. Saat
aku mendengar langkah itu berhenti di depan lemari, aku menahan napas dan
menekan tombol di remote yang kumiliki. Seketika, suara lonceng kecil di
beberapa sudut apartemen berdenting, seolah-olah memberi tahu bahwa gerakan telah
terdeteksi.
Pembunuh
itu tampak terkejut, dan aku mendengar suara langkah kaki berlari menjauh tergesa-gesa
menuju dapur, di mana aku sudah menyiapkan sebuah ember penuh air yang
menggantung di atas pintu. Saat pembunuh itu mendekat dan membuka pintu dapur,
ember itu tumpah, membuatnya basah kuyup dan membuatnya kehilangan
keseimbangan.
Aku
segera berlari ke ruang tamu, menekan tombol terakhir di remote, yang
mengaktifkan alarm darurat yang sangat keras. Suara memekakkan telinga itu
mengisi apartemen, membuat pembunuh itu hilang fokus. Dengan gemetar, aku
menelepon polisi, memberikan alamatku dan memberitahu bahwa pelaku ada di
apartemenku.
Aku
bisa mendengar suara pintu belakang terbuka dengan keras, diikuti oleh
langkah-langkah berat yang mencoba keluar dari apartemen. Pembunuh itu berusaha
untuk melarikan diri, tetapi kondisi basah kuyup dan lantai yang licin membuatnya
kesulitan bergerak. Setiap langkah terdengar semakin tidak teratur.
Beberapa
menit kemudian, aku mendengar suara sirene polisi semakin dekat.
Langkah-langkah pembunuh itu semakin terburu-buru, dan aku bisa membayangkan
betapa paniknya dia saat menyadari bahwa pelariannya mungkin terhalang. Aku
tetap bersembunyi, hanya menunggu momen di mana polisi akan tiba.
Akhirnya,
aku mendengar suara mobil polisi berhenti di luar, diikuti oleh langkah-langkah
cepat dan teratur dari petugas yang berlari menuju pintu belakang. Suara mereka
terdengar jelas, dan aku bisa mendengar mereka berteriak, "Polisi! Jangan
bergerak!"
Aku
memutuskan untuk keluar dan berlari ke arah pintu belakang. Aku melihat dua
petugas polisi memasuki dapur, satu dari mereka memeriksa sekitar area tersebut
sementara yang lain berbicara ke radio untuk memperbarui status situasi. Aku
menunjuk ke arah pintu belakang dan memberi tahu mereka bahwa pelaku mencoba
melarikan diri melalui sana.
“Pelakunya
mencoba melarikan diri melalui pintu belakang!”
Salah
satu petugas segera beralih ke arahku. “Tunggu di sini. Kami akan mengecek ke
luar,” katanya sambil berlari menuju pintu belakang.
Petugas
lainnya mendekat dan menatapku dengan cermat. “Apakah kamu baik-baik saja? Ada
hal lain yang perlu kami ketahui?”
Aku
mengangguk, mencoba untuk menenangkan diri. “Ya, aku baik-baik saja. Tapi dia
mungkin memiliki senjata atau barang bukti lain di luar. Aku tidak tahu pasti.
Dia terlihat sangat panik dan berusaha melarikan diri secepat mungkin.”
Wanita
itu mencatat informasi tersebut sambil berlari menuju pintu belakang untuk
bergabung dengan rekannya. “Terima kasih atas informasinya. Kamu sudah
melakukan hal yang sangat baik dengan menghubungi kami. Kami akan menangani
situasinya dari sini.”
Polisi
segera berlari ke luar dan mengelilingi area sekitar apartemen. Aku bisa
melihat mereka dengan cepat menemukan pembunuh itu sedang mencoba melarikan
diri, terjebak di antara pagar dan hujan deras. Pembunuh itu tampak kelelahan
dan panik, berusaha menghindari tangan-tangan polisi yang sudah dekat.
Tak
lama kemudian, aku melihat mereka kembali dengan si pembunuh yang sudah
diborgol dan tampak kelelahan, diiringi oleh beberapa petugas tambahan yang
membawa peralatan untuk memeriksa area.
“Pelaku
sudah ditangkap dan akan dibawa ke kantor polisi. Kami juga akan melakukan
pemeriksaan lebih lanjut di sekitar sini untuk memastikan tidak ada barang
bukti lain yang tertinggal. Kamu sudah melakukan pekerjaan yang sangat baik,
dan kami akan memastikan bahwa kamu aman.”
Aku
berdiri di dekat pintu belakang, tubuhku masih gemetar, tetapi aku merasakan
rasa lega yang mendalam. Salah satu petugas mendekatiku dan berterima kasih
atas kerja sama dan keberanian yang kutunjukkan.
Ketika
polisi membawanya pergi, aku merasakan campuran antara lega dan kemenangan. Teror
yang dia ciptakan untukku akhirnya berbalik menjadi senjata yang
menghancurkannya. Meskipun tubuhku masih gemetar dan aku merasa lelah secara
emosional, aku merasa puas karena aku telah berhasil melawan dan mengakhiri
mimpi buruk ini. Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak mimpi buruk ini
dimulai, aku bisa tidur dengan tenang.
Image Source : Pinterest
Komentar
Posting Komentar