The Terror(s) : Dendam (The Killer's POV)
Aku menatap tanganku yang
berlumuran darah, merasakan dinginnya pisau yang masih ku genggam erat. Suara
sirine polisi mulai terdengar dari kejauhan, memaksaku untuk segera bergerak.
Namun, untuk sesaat, aku terdiam, membiarkan ingatan akan masa lalu membanjiri
pikiranku.
Lima tahun yang lalu,
hidupku berubah selamanya. Sebagai seorang mahasiswa hukum yang bercita-cita
menjadi pembela keadilan, aku harus menyaksikan ayahku dijebloskan ke penjara
atas tuduhan korupsi yang tidak pernah ia lakukan. Semua bukti mengarah pada seorang
pengusaha kaya yang berhasil memanipulasi sistem hukum demi keuntungan
pribadinya.
Malam itu masih terasa
jelas dalam ingatanku. Suara ketukan keras di pintu rumah kami memecah
keheningan malam. Ayahku, dengan wajah tenang namun bingung, membuka pintu dan
disambut oleh sekelompok petugas berseragam.
"Ada apa ini?"
tanya ayahku dengan suara tenang.
Seorang petugas melangkah
maju, menunjukkan sebuah surat perintah penangkapan. "Anda ditahan atas
tuduhan korupsi dan penyalahgunaan wewenang."
Aku masih ingat bagaimana
tubuh ayahku menegang, matanya memancarkan ketidakpercayaan dan kebingungan.
"Ini pasti kesalahpahaman" katanya, suaranya sedikit bergetar.
Namun, para petugas itu
tak menggubris. Mereka mulai menggeledah rumah kami, membalik setiap bantal,
membuka setiap laci, mencari bukti yang entah apa.
"Nak" ayahku
berpaling padaku, matanya memancarkan kekhawatiran. "Jaga ibumu. Dan
ingat, apapun yang terjadi, aku tidak pernah melakukan apa yang mereka
tuduhkan."
Aku hanya bisa
mengangguk, terlalu syok untuk berkata-kata saat menyaksikan ayahku diborgol
dan dibawa pergi.
Bulan demi bulan berlalu, aku tetap berusaha membuktikan ketidakbersalahan ayahku melalui jalur
hukum. Namun, setiap upayaku selalu berakhir sia-sia. Sistem yang kuimani
ternyata begitu rapuh di hadapan kekuasaan dan uang.
"Maaf, tapi
bukti-bukti ini terlalu kuat" kata pengacara yang kami sewa, frustasi
terlihat jelas di wajahnya. "Semua transaksi, dokumen, bahkan rekaman
suara... semuanya mengarah pada ayahmu."
"Tapi itu tidak
mungkin!" bantahku. "Ayahku bukan orang seperti itu. Pasti ada
kesalahan!"
Pengacara itu hanya
menggeleng lemah. "Aku tahu ini sulit, tapi kita harus realistis. Sistem
hukum kita..."
"Sistem hukum?"
potongku dengan nada sinis. "Sistem macam apa yang membiarkan orang tidak
bersalah dipenjara sementara penjahat sebenarnya bebas berkeliaran?"
Sementara itu, kesehatan
ayahku semakin memburuk di balik jeruji besi. Setiap kunjungan ke penjara
terasa semakin menyakitkan. Ayahku yang dulu tegap dan penuh semangat kini
hanya bayangan dari dirinya yang lalu.
"Nak" katanya
suatu hari, suaranya lemah dan terbata-bata. "Jangan... jangan sia-siakan
hidupmu untuk ini. Lanjutkan studimu, jadilah orang yang berguna."
Aku menggenggam tangannya
erat. "Aku akan membuktikan bahwa ayah tidak bersalah. Aku janji."
Dia tersenyum lemah,
matanya berkaca-kaca. "Aku tahu kau anak yang baik. Tapi ingat, jangan
biarkan kebencian menguasaimu. Keadilan... keadilan akan datang pada
waktunya."
Tapi keadilan tidak
pernah datang. Dua minggu kemudian, ayahku menghembuskan napas terakhirnya di
sel penjara yang dingin dan lembap, tanpa sempat merasakan kebebasan yang
seharusnya menjadi haknya.
Kematian ayahku menjadi
titik balik dalam hidupku. Aku meninggalkan studi hukumku dan mulai menyelidiki
pengusaha itu secara pribadi. Selama berbulan-bulan, aku mengumpulkan
informasi, mengikuti setiap gerak-geriknya, dan mempelajari kelemahannya. Aku
bukan lagi diriku yang naif; aku telah berubah menjadi bayangan yang dipenuhi
dendam.
Malam ini, dengan dalih pertemuan bisnis rahasia sebagai jebakan, aku memancingnya ke sebuah gang sepi di belakang toko
roti.
Saat dia berjalan
memasuki gang gelap, aku melangkah keluar dari bayang-bayang.
"Malam" sapaku
dengan suara dingin.
Dia tersentak kaget.
"Siapa kau? Apa yang kau inginkan?"
"Keadilan"
jawabku singkat, menggenggam pisau di balik punggungku.
Matanya menyipit, mencoba
mengenaliku. "Tunggu... kau...siapa kau sebenarnya?"
"Kau tidak mengenaliku?" Jawabku. Dia hanya menggeleng ragu.
"Ayahku yang kau fitnah. Yang kau biarkan mati di penjara."
Dia mendengus lemah, seolah mencoba mengingat. "Anak siapa kau? Ada banyak orang yang sudah aku singkirkan."
"Banyak?" desisku. "Cih. Kau sebut dirimu manusia??" Lanjutku, mengepalkan tangan lebih erat pada gagang pisau.
Wajahnya memucat.
"Dengar, nak. Itu hanya bisnis. Tidak ada yang personal-"
"Tidak ada yang
personal?" Aku mendesis. "Kau menghancurkan keluargaku!"
Dia mengangkat tangannya,
mencoba menenangkanku. "Kita bisa bicarakan ini. Aku bisa memberimu uang,
pekerjaan... apapun yang kau mau."
"Yang kuinginkan
adalah keadilan."
Dalam sekejap, aku
menerjang ke depan. Pisauku menembus tubuhnya sebelum dia sempat bereaksi.
"Ini untuk ayahku"
bisikku saat dia terjatuh ke tanah.
Matanya melebar, mulutnya
terbuka dalam jeritan bisu sebelum akhirnya tubuhnya terkulai lemas.
Dari sudut mataku, aku melihat
seseorang mengintip dari jendela apartemen di seberang jalan. Panik mulai
menguasaiku, tapi aku tahu aku harus tetap tenang. Dengan cepat, aku melarikan
diri dari TKP, meninggalkan tubuh itu tergeletak di trotoar.
Dalam pelarianku, aku
terus memikirkan saksi mata itu. Dia adalah ancaman bagi rencanaku, bukti hidup
yang bisa menghancurkan semua yang telah kupersiapkan selama bertahun-tahun.
Aku tahu aku harus melakukan sesuatu tentang dia, tapi bagian dari diriku yang
masih memiliki nurani memberontak terhadap ide untuk menghilangkan nyawa yang
tidak bersalah.
Selama berminggu-minggu
berikutnya, aku mengamati apartemen saksi mata itu. Aku mengiriminya
pesan-pesan ancaman, berharap bisa membuatnya tetap diam karena ketakutan.
Namun, semakin hari aku semakin frustrasi. Saksi itu ternyata lebih tangguh
dari yang kukira.
Pada suatu malam
berhujan, aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Aku menyusup ke
apartemennya, berniat untuk mengancamnya secara langsung atau melakukan hal
yang lebih buruk jika diperlukan. Namun, apa yang terjadi selanjutnya di luar
dugaanku.
Saksi itu ternyata telah
menyiapkan jebakan untukku. Aku terjebak, basah kuyup dan kehilangan
keseimbangan karena perangkapnya. Suara alarm yang memekakkan telinga membuatku
panik. Saat aku berusaha melarikan diri, polisi sudah mengepung gedung.
Kini, saat borgol dingin
melingkar di pergelangan tanganku, aku menyadari betapa ironisnya situasi ini.
Aku yang dulunya bercita-cita menegakkan keadilan, kini berakhir sebagai
kriminal yang akan diadili oleh sistem yang sama yang telah menghancurkan keluargaku.
Dalam perjalanan menuju
kantor polisi, aku menatap kosong ke luar jendela mobil patroli. Hujan masih
turun dengan deras, seolah-olah langit ikut menangisi takdirku. Aku
bertanya-tanya, apakah ayahku akan bangga dengan apa yang telah kulakukan? Atau
justru kecewa karena aku telah menjadi monster yang sama dengan orang-orang
yang telah menghancurkan hidup kami?
Saat mobil melaju
menembus gelapnya malam, kusadari dendam telah membutakan mataku. Keadilan sekalipun tidak bisa ditegakkan dengan cara
yang salah. Dan kini, kubayar harga yang mahal untuk mendapatkan pelajaran itu.
Image Source : Pinterest
Komentar
Posting Komentar