The Window
Malam itu, hujan deras mengguyur kota. Di kamar apartemen lantai atas, Hana duduk di tepi tempat tidur, matanya kosong menatap jendela kaca besar yang berembun.
Dia memeluk sweater tua milik kakaknya, Naya, yang meninggal sebulan lalu. Suara gemuruh petir tak mampu mengalihkan pikirannya dari rasa bersalah yang terus menghantuinya.
"Aku seharusnya bersamanya waktu itu," bisiknya pada diri sendiri, air matanya mengalir.
Saat jam dinding berdentang tengah malam, Hana mendengar sebuah suara. Suara lembut, seperti bisikan, namun rasanya dekat di telinganya. “Hana...” Suara itu memanggil namanya dengan nada yang lembut, hampir menenangkan. Hana terdiam, matanya melirik ke sekitar ruangan, tetapi tidak ada siapa pun.
Hana mencoba mengabaikan suara itu, mengira itu hanya imajinasinya. Tapi suara itu tidak hilang. Bisikan itu terus memanggilnya, hingga akhirnya dia bangun dari tempat tidur dan berdiri di depan jendela. Tidak ada apa-apa di luar sana, hanya gelap dan bayangan gedung di seberang. “Siapa kamu?” bisiknya, meski merasa bodoh karena berbicara pada sesuatu yang mungkin tidak ada. Tapi tidak ada jawaban. Malam itu, Hana tidur dengan perasaan was-was.
Malam berikutnya, bisikan itu kembali, lebih jelas. Kali ini, suara itu berbicara padanya. “Hana... Kau lelah, bukan? Semua ini bisa berakhir. Aku bisa membantumu.” Hana menggigit bibirnya, ragu untuk menjawab. Namun, ada sesuatu dalam nada suara itu yang membuatnya merasa dimengerti, seperti suara itu tahu betapa berat beban yang dia rasakan. Dia mendekati jendela lagi, memandang pantulannya sendiri. Entah kenapa, pantulan itu terlihat lebih asing, lebih letih.
“Bagaimana kau bisa membantuku?” tanyanya akhirnya. Suara itu tidak menjawab langsung, hanya menyuruhnya untuk menutup mata. Ketika Hana melakukannya, dia melihat gambaran sebuah dunia yang damai—ladang bunga di bawah langit biru, angin sejuk menerpa wajahnya. Tapi begitu dia membuka mata, dunia itu hilang, digantikan oleh kegelapan malam di luar jendela.
Besok malamnya, Hana menantikan suara itu. Ketika bisikan itu datang, dia merasa lega, seperti bertemu seorang teman. Namun malam itu, suara itu meminta sesuatu darinya. “Berikan sesuatu yang berarti bagimu, dan aku akan membantumu lebih banyak,” katanya. Hana berpikir lama, lalu mengambil sweater milik Naya—benda terakhir yang membuatnya merasa dekat dengan kakaknya. Dia meletakkannya di depan jendela, ragu-ragu.
Angin dingin tiba-tiba berhembus meski jendela tertutup rapat. Sweater itu melayang sedikit, lalu tergeletak kembali di lantai. Malam itu, Hana bermimpi buruk. Dalam mimpinya, dia melihat Naya berdiri di kejauhan, tersenyum aneh dengan wajah yang pucat dan mata kosong. Tapi Hana tidak merasa takut, hanya hampa.
Di malam malam berikutnya, suara itu mulai mendominasi malam-malam Hana. Dia berbicara dengan suara itu hingga subuh, mengabaikan lelah yang semakin terasa. Tubuhnya mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan—mata cekung, kulit pucat, tapi dia tidak peduli. Malam itu, suara itu menyuruhnya menatap jendela tanpa berkedip. “Lihat aku, Hana. Kau akan melihat kebenaran.”
Hana menurut. Dia menatap pantulan dirinya, tapi pantulan itu mulai berubah. Mata yang menatap balik bukan lagi matanya. Mereka lebih gelap, lebih tajam, dengan senyum yang terlalu lebar untuk wajah manusia. Hana terkejut, tapi dia tidak bisa memalingkan wajah. “Aku semakin dekat,” bisik suara itu, terdengar lebih nyata daripada sebelumnya.
Hana merasa dirinya kehilangan kendali. Suara itu kini terus memintanya untuk membuka jendela. “Hanya sedikit lagi, Hana. Kau akan bebas.” Malam itu, dia berdiri di depan kaca, tangannya gemetar saat menyentuh gagang jendela. Ketika dia membuka sedikit celah, angin dingin langsung menyergap masuk, membawa aroma yang asing—seperti bau tanah basah dan bunga layu.
Saat dia menatap keluar, dia tidak lagi melihat pemandangan kota. Sebaliknya, ada dunia lain di sana—langit merah pekat seperti darah, dengan tanah yang tandus dan retak. Di kejauhan, dia melihat sosok Naya, tapi wajahnya bukan wajah yang dia kenal. Wajah itu tersenyum, dengan mata kosong yang menatap lurus padanya.
“Hana, masuklah. Di sini, kau akan bebas dari rasa sakit,” suara itu berkata. Tangan Hana terulur, hampir melewati celah jendela.Saat kulitnya menyentuh udara di luar, rasa dingin itu langsung merambat, bukan hanya di tubuhnya, tapi juga ke dalam pikirannya. Dunia di luar jendela menyambutnya dengan keheningan yang mencekam, seakan segalanya berhenti.
Dia melangkah melewati celah itu, dan seketika udara berubah. Nafasnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang menekan dadanya. Tanah di bawah kakinya terasa rapuh, seperti siap runtuh kapan saja. Langit merah pekat seolah hidup, dengan cahaya yang berdenyut pelan seperti napas makhluk raksasa. Di sekelilingnya, suara-suara aneh mulai terdengar, bisikan-bisikan yang lebih keras daripada sebelumnya, mengelilinginya dari segala arah. Tapi di tengah kegelisahan itu, dia melihat Naya mendekat.
"Hana," kata Naya dengan senyum yang mengerikan, "Kau telah membuat pilihan yang tepat." Tangan kakaknya terulur, tapi sentuhan itu dingin dan kaku, lebih seperti milik mayat daripada manusia. Hana ingin menarik diri, tapi tubuhnya tidak mau bergerak. Dia hanya bisa memandang, merasa dirinya perlahan-lahan tenggelam dalam dunia yang tidak lagi mengenal batas antara kenyataan dan mimpi buruk.
Ketika pagi tiba, apartemen Hana kosong. Jendela kamarnya terbuka lebar, angin pagi meniup tirai dengan lembut. Tidak ada jejak keberadaan Hana, kecuali sweater Naya yang tergeletak di lantai, kini basah dan berbau tanah. Di jendela, samar-samar terlihat bekas sidik jari, seolah seseorang telah mencoba masuk… atau keluar.
"Said the devil by the window,
'Dream on, dream on, good night!'"
~ Devil by the Window - TXT
Komentar
Posting Komentar